Ini tentang
sebuah mimpi tadi malam. Mimpi yang dengan tiba – tiba membangunkanku tepat pukul
02:30 WIB. Meski aku memang selalu
berdoa agar bisa bangun jam demikian, tapi kali ini lain. Mimpi itu yang
membangunkanku. Mimpi itu yang menyadarkanku.
Aku terbangun
dan menatap sekitar. Hanya ada ibu seorang. Hening. Sepi. Aku rasa kami sedang
berada di sebuah rumah yang tak lagi berpenghuni. Karena dinding rumah itu
sudah rubuh sebagian, Hanya sedikit bagian rumah yang bersisa atap sebagai
tempat peneduh. Sepuluh meter di depan kami ada tempat pembakaran sampah. `Kami
seperti berada di antara sebuah perkebunan, bahkan mungkin hutan dengan pohon –
pohon kering dan banyak daun – daun berguguran di bawahnya.
Ada dua ekor
burung besar di sekitar kami dengan kondisi sakit. Burung itu harusnya seperti
boneka burung hantu yang lucu yang kemudian diterjemahkan menjadi nyata. Dengan
ukuran lima kali dari burung biasa. Dengan kondisi sakit. Tak bergerak. Hanya
sesekali bergerak pelan, meringkik kesakitan. Ada seseorang yang datang. Oh
tidak, hanya bagian kepala, leher dan bahu yang datang dengan bersimbah darah.
Aku menjerit ketakutan. Ibu memegang pisau besar yang biasa digunakan untuk
memotong daging, Dengan cekatan memotong potongan manusia yang datang menjadi bagian
– bagian kecil, lalu melempar bagian itu ke segala arah. Sejauhnya. Aku
membantu ibu melakukannya. Setelah itu, burung – burung yang sakit ikut
dilempar ke tempat pembakaran sampah. Aku bertanya mengapa, ibu menjawab karena
burung – burung itu dan akan ada burung – burung lainnya yang terinfeksi virus.
Aku terbangun
dengan rasa letih. Itu bukan mimpi yang indah. Dalam mimpi itu kami berada
dalam suatu kondisi yang demikian sulit. Namun, dari mimpi itu aku belajar
banyak hal. Aku menyadari sesuatu.
Bahwa roda
kehidupan ini berjalan menuju suatu pemberhentian. Dan dalam perputarannya,
akan ada banyak sekali kejadian – kejadian yang bisa jadi tidak kita harapkan.
Pada apa – apa yang kita miliki saat ini, sebenarnya hanya titipan Nya. Akan
ada saat kita harus mengembalikan titipan itu. Dan memang tidak ada pilihan
untuk tidak. Harta, kesehatan, kelima panca indera, orang – orang yang kita
sayangi, kondisi hidup yang lancar, semua adalah titipanNya. Pernahkah kau
berpikir bagaimana jika kita kehilangan satu saja dari apa – apa yang kita
miliki saat ini?
Beranikah kau
membayangkan?
Saat kita
kehilangan harta, yang biasanya mempermudah kita dalam menjalani hidup? Yang
biasa kita gunakan untuk memperturutkan kebutuhan,
keinginan, atau bahkan nafsu untuk membeli ini dan itu.
Saat kita
kehilangan tubuh yang sehat, divonis suatu penyakit tertentu yang sulit sekali
dicari obatnya.
Saat kita
kehilangan satu saja panca indera kita, tak mampu melihat, mendengar,
berbicara, tak dapat memfungsikan kaki dan tangan kembali secara normal
kembali.
Saat kita
kehilangan orang – orang yang paling kita sayangi, ayah, ibu, kakak atau adik,
sahabat – sahabat kita.
Apakah kita akan terberatkan dengan segala
perkara duniawi? Yang bersifat semu. Lantas jika kita kehilangan satu saja
kenikmatan kita saat ini kita akan tersungkur dalam kesedihan tanpa ada usaha
untuk bangkit?
Seolah dunia
telah menjadi gelap tanpa cahaya yang datang. Melupakan nikmat yang lain?
Kita telah gagal
mencari pegangan dalam kehidupan. Pegangan yang senantiasa dapat menolong kita
untuk bangkit meski badai tengah kita hadapi. Meski kita kehilangan banyak hal
yang kita anggap itu adalah nikmat. Kau tau? Pegangan itu adalah iman,
kedekatan kita kepada Allah swt. Pemilik cinta yang hakiki. Kepada Nya kita
menyembah, dan hanya kepadaNya lah kita memohon pertolongan. Kesadaran bahwa
hidup ini memang diciptakan untuk beribadah kepadaNya.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzariyat (51) : 56)
"Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi itu sebagai perhiasan, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amal perbuatannya." (QS Al-Kahfi:7-8).
sumber |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanks for reading.. Any comments?
Write down!