Pages

Tampilkan postingan dengan label the journeys. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label the journeys. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Oktober 2011

Memoriam in Tidung Island.. part 4

Pak Jay menawarkan agar kami pindah ke rumah adik istrinya. Ia telah menceritakan keadaan kami kepada adik iparnya itu. Kita sebut adik iparnya Bu Een. Suami Bu Een sedang berlayar sehingga di rumahnya ia hanya bersama kedua orang anaknya, Reno dan adiknya. Ia merasa kasihan mendengar kisah kami dan menawarkan sebuah kamar untuk kami.*kita adalah orang - orang yang dikasihani..oohh

Kami berdiskusi. 

Kami sepakat tidak ingin merepotkan terlalu banyak orang dan
Sepakat kami yang merasa sudah nyaman di rumah Pak Jay dengan apa adanya.
Di tengah diskusi kami, Reno menyela

“Jadi gak ini?”

Kami terdiam.

“Maaf ya mba – mba. Bukannya mau ngusir, tapi saya pikir lebih baik mba – mba menginap di sebuah kamar, mba kan perempuan daripada di sini. Tapi ya terserah mbanya kalo udah merasa kerasan di sini”

Kata – kata Pak Jay ada benarnya, kami pun pindah menuju rumah Bu Een. Tunggu, kata – kata Pak Jay yang benar atau ada udang di balik bakwan? Haha, hanya kami yang tau.

Bu Een adalah orang yang sangat ramah. Setelah berkenalan, kami disuruh segera meletakkan barang – barang ke dalam  kamar yang telah disediakan untuk kami. Di dalam kamar itu ada sebuah kipas angin, kasur lantai, dan sebuah lemari berukuran sedang. Di atas lemari itu terdapat sebuah topi yang gue kira milik taruna angkatan laut. Tetapi ternyata  salah, topi (atau biasa disebut pet) itu milik pemuda pulau tidung tadi. Topi itu merupakan seragam sekolahnya.

Setelah memasukkan barang – barang kami, kami berbincang – bincang dengan Bu Een. Beliau menceritakan tentang sejarah Pulau Tidung. Belakangan, baru saja diketahui bahwa Pulau Tidung ditemukan oleh Pangeran Pendita yang berasal dari Pulau Kalimantan. Pangeran itu melakukan pelarian pada zaman Belanda melewati Pulau Jawa hingga sampailah pada Pulau Tidung. Sang pangeran memiliki kekuatan sehingga Belanda tidak dapat menemukan Pulau Tidung. Pulau itu dibuat tidak terlihat ketika ada orang yang berniat jahat mendekat oleh Pangeran. Jasad pangeran ditemukan oleh Arkeolog yang kemudian membuat orang  - orang kerajaan dari Kalimantan datang berbondong – bondong untuk memindahkan makam Pangeran. Di Pulau Tidung kecil juga terdapat makam Ksatria Hitam yang sakti.

Setelah berbincang – bincang, gue pun mulai dilanda kantuk yang teramat sangat, sementara yang lain masih asyik bercanda. Akhir kata, gue tidur duluan.
Gue bangun jam empat pagi. Hujan. Trauma. Takut ga bisa pulang.  Gue mulai berimajinasi bertahun – tahun gak bisa pulang dan terus berada di Pulau itu. Gue segera menuju kamar mandi untuk menenangkan diri. Masih sepi. Bu Een dan anak – anaknya belum memulai aktivitasnya. Ketiga temen gue masih tidur dan mereka mulai terbangun ketika sayup – sayup suara adzan Shubuh berkumandang.

Setelah sholat, kami bercakap – cakap. Rupanya ada hal yang terlewatkan oleh gue yang disebabkan gue yang tidur duluan. Apa itu?


Ngobrol bareng Reno.


Hahahahaha.. Maaf , maaf,, kami memang masih ABG.

Reno adalah siswa kelas dua SMK di pulau itu. Dia cukup pintar, namun sering bolos. Bayangkan, pernahkah Anda bolos selama sebulan? Haha, tidak – tidak. Dia tidak bolos selama itu. Dia sedang mencari info kepada kami mengenai kampus. Pulau itu tidak memiliki akses yang cukup untuk mengetahuinya. Bahkan dia tidak tau bahwa Universitas Indonesia adalah perguruan tinggi negeri. Dia juga tidak tahu bagaimana cara mengikuti tes masuknya. Kasian Reno. Ada banyak hal yang mereka bincangkan dengan Reno, namun lebih baik menjadi tetap rahasia kami.

Reno meminta kami untuk menunda kepulangan menjadi besok. Dia ingin mengajak kami untuk berkeliling pulau. Tapi kami menolak.

Selepas membicarakan Reno…

Bu Een menyiapkan teh manis dan biskuit untuk kami. Dia terburu – buru pagi itu karena harus menemani putrinya *adik Reno mengikuti lomba nyanyi di Pulau Pramuka. Kami berinisiatif untuk membantu membereskan rumah. Hanya menyapu, mengepel, dan membereskan sandal siih.
Oke, don’t mean it to deep!

            Tak lama Reno berangkat sekolah, Bu Een kembali. Ia kemudian mengantarkan kami kepada penjual tiket. Kami menelusuri rumah demi rumah yang selalu terlihat ada pohon di pekarangannya. Sesekali Bu Een menyapa orang yang dikenalinya. Tiba pada suatu rumah yang depannya terdapat pohon bunga Begeunvil yang sangat rimbun dan pohon jambu air besar yang menutupinya. Tak lama Bu Een bertemu dengan sang penjual tiket dan memintanya untuk menyisakan tiket untuk empat orang.

            Dari sini gue menyimpulkan segala sesuatu akan lebih mudah apabila kita memiliki relasi. Pastikan kita memiliki relasi setiap ingin melakukan sesuatu. Try and Trust it!

            Kami mengucapkan terima kasih kepada Bu Een dan berpamitan. Segera kami menuju pelabuhan bersiap untuk membeli tiket. Kami melewati rumah Pak Jay dan berpamitan kepada istri dan orang tuanya. Sayang, Pak Jay tidak ada di sana waktu itu.

Loket dibuka pukul delapan oleh karena itu kita mampir dulu di sebuah warung dan berfoto ria. 

Di sana kita bertemu dengan Pak Jay. Ia memastikan tiket benar – benar telah ada di tangan kami dan menunggui kami sampai kapal datang. Pekerjaan sampingan Pak Jay ternyata adalah sebagai tukang sapu honorer di kantor kelurahan Pulau Tidung. Ia juga bercerita tentang Reno yang memang selalu senang terhadap pengunjung pulau untuk diajaknya berbagi info. 

Kapal Kerapu kami datang.

Pak Jay pamit undur diri. Kamipun berterima kasih dan berjanji akan mengajak teman – teman untuk datang ke Pulau Tidung. Setelah agak kejauhan, kami berteriak memanggilnya.

“Paaaakkk!!”

Pak Jay menoleh

“Salam untuk Reno yah..hhiihihiihiihi”

“Iya neng” jawabnya sambil ikut tersenyum.

Kami dipanggil satu per satu untuk memasuki kapal. Dan entah kenapa saat itu petugas memanggil nama gue dengan sebutan “KURT!”…

Kapal kerapu adalah sejenis speed boat dan tiketnya per orang sebesar tiga puluh tiga ribu rupiah. Kami baru pertama kali naik kapal ini. Panik dan teriak - teriak heboh adalah reaksi pertama saat kapal ini melaju seperti halilintar yang ada di dunia fantasi. Orang – orang memandangi kami ingin menertawakan. Tetapi menguasai diri untuk tidak teriak – teriak pada saat seperti naik wahana halilintar yang terus menerus dan langsung digerakkan oleh alam tidaklah mudah.
di dalam kapal, dapet snack lhoo

Kapal Kerapu

Kami tidak langsung menuju pelabuhan Marina tetapi mampir dulu ke beberapa pulau.

ga tau pulau apa
pulau untung jawa nih










Dan akhirnya, sampailah di Pulau Jawa! *terharu.
Demikian ceritaku. Gue berjanji akan menceritakan kisah ini setapak demi setapak yang gue alami. Dan sepertinya, gue berhasil :D

Finish

Rabu, 12 Oktober 2011

Memoriam in Tidung Island.. part 3

Gue dan Hilda menuju kamar mandi sedangkan Rindy dan Yessica terlihat masih bercakap – cakap dengan si bapak. Selesai dari membersihkan diri Yessica menghampiri dan mengatakan bahwa Pak Jay sangat baik. Ia menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap tanpa dipungut biaya apapun. Ia juga mengatakan bahwa di rumahnya ada istri, anak, dan kedua orang tua istrinya (baca:mertuanya).
Kamipun mulai berdiskusi
 
“Bukannya mau su’udzon, tapi ada baiknya kita waspada sama orang yang baru kita kenal”
“Tapi kayaknya dia ga niat jahat deh. Diakan cukup dikenal sama warga sini. Kalo dia jahat, dia bisa mencoreng nama baik dia sendiri.” Pak Jay cukup dikenal oleh masyarakat terbukti dari banyaknya relasi yang dia telpon.
“Ya udah gini aja, kita ke rumah bapak itu sekitar jam Sembilan nanti, jadi di sana kita bener – bener gunain hanya untuk berteduh malam. Nanti pas tidur tasnya kita peluk aja supaya aman.”
“Jadiiii…. Kita bener – bener harus menginap semalam di sini?”
“Sayangnya iya…”
Kita bener – bener ga nyangka, kita berempat terjebak gak bisa keluar dari pulau itu. Gak ada siapa – siapa yang kita kenal. Dan kami, hanyalah empat orang gadis yang masih kecil dan lugu *oke, yang ini berlebihan.
 
Kami menyambut hal ini dengan tertawa tanpa rasa takut. Masing – masing berpikir setidaknya ‘gue’ gak sendiri. Setidaknya Ferina udah sabuk ijo di karatenya*oke, yang ini agak enggak nyambung.
Hal yang bikin kita takut adalah izin dari orang tua. Apa yang harus kita bilang? Sepakat. Kita mengungkapkan bahwa Rindy secara mendadak memberi kejutan paket stay sebagai perayaan Rindy yang dapat beasiswa di Rusia. At least, dia benar – benar berhasil *Congratz buat Rindy  . Gue udah bohong soal ayah dan ibu Rindy ada di sana juga, tapi semoga white lie ini dimaafkan. Kebayang gak sih kalo orang tua kita tau bahwa kita terjebak di suatu pulau gak bisa pulang? Apa reaksinya?
Kalo bapak gue mungkin udah naik Jet ski dari muara angke ke Pulau Tidung buat jemput sambil teriak nama gue. hihii.. *backsound Pink Panther Them.
 Setelah sholat ashar dan menelepon orang tua, mengabarkan bahwa anaknya baik – baik saja, kitapun melanjutkan sesi foto – foto dan berpencar lagi. Rindy dan Yessica melanjutkan snorkeling *karena mereka belum mandi, gue dan Hilda menuju Pulau Tidung kecil melewati Jembatan Cinta.
 
Jembatan ini tidak memiliki mitos apapun, diberi nama jembatan cinta hanya untuk menarik perhatian pengunjung. Dari atas jembatan banyak yang melompat dengan tujuan hanya untuk bersenang – senang.
Matahari mengakhiri penyinarannya untuk hari ini. Suasana pantai mulai sepi oleh pengunjung. Kamipun mengakhiri rekreasi kami. Mushola adalah tempat peristirahatan yang paling nyaman saat itu. Setelah sholat Maghrib, kami mengobrol di depan Mushola. Tak lama abang – abang penyewa snorkeling datang untuk menjemput peralatannya. Alhamdulillah, mengurangi bawaan..haha . Si abang tau aja kita dimana :P
Setelah sholat Isya, kita makan. Cukup dua piring nasi goreng (baca:sepiring berdua).
Waktu baru menunjukkan jam delapan malam namun suasana sudah benar – benar sepi. Di parkiran sepeda hanya tertinggal dua sepeda kita. Karena abang sepedanya udah gak ada, kitapun gak bayar uang parkir.
Sudah pernah diceritakan sebelumnya bahwa jalan setapak dari ujung pulau ke pelabuhan yang banyak rumah penduduknya itu sangatlah sepi. Sebelah kiri langsung pantai dan sebelah kanan jalan adalah pepohonan. Di sinilah sensasi petualangan yang gak akan bisa gue lupakan. Dengan jalanan gelap yang hanya bercahayakan sinar rembulan dan langit penuh bintang, dengan pepohononan yang ramai dengan sekelebat putih yang lewat, dengan sepeda dengan stang yang sesekali oleng kanan dan oleng kiri, gue mengayuh sepeda penuh dengan konsentrasi. Sambil membaca istighfar dalam hati, sesekali gue mengajak Hilda berbincang, memastikan bahwa gue masih memboncengnya. Saat itu gue membayangkan berada disebuah adegan film Petualangan Sherina *yang mananya juga gue ga tau.haha
Gue tiba lebih dulu di tempat penyewaan sepeda. Setelah Rindy dan Yeye sampai, kami pun berjalan kaki menuju rumah Pak Jay. Sebelumnya Pak Jay menerangkan bahwa rumahnya masih berada di satu jalan dengan jalan setapak tadi. Oleh karena itu, tidak sulit untuk menemukan rumahnya. Rumah itu memiliki balkon yang luas dengan bagian depan terdapat sebuah etalase. Rupanya keluarga Pak Jay tiap harinya menjual gado – gado, karedok, dan pecel. 
Kami dipersilahkan masuk.
Di sana kami bertemu dengan istri, kedua orang tua istri serta anak Pak Jay. Sepertinya Pak Jay telah member kabar tentang kami kepada keluarganya. Semuanya dengan ramah menyalami kami. Kami kemudian dibawa ke sebuah ruangan keluarga. Ruangan itu cukup luas. Ada sebuah televisi dan digelar tikar sebagai alas lantainya. Kami dipersilahkan menempati tempat itu.
Walaupun sederhana, kami semua sepakat untuk mensyukuri kebaikan Pak Jay yang bersedia menyediakan tempat untuk kami. Kamipun berbincang – bincang dengan ibu dari istri Pak Jay.
Ibu itu orang asli pulau. Lahir dan besar di pulau itu. Hanya beberapa kali ia keluar pulau. Ia pun menikah dengan orang asli pulau itu. Gue berpikir, ruang gaulnya sempit banget yah, Cuma di sekitar pulau – pulau itu.
Tidak lama Pak Jay datang beserta istri dan seorang pemuda. Pemuda itu tinggi, masih muda, badannya proporsional, dan terakhir,, ehm… ganteng. Sebut saja nama pemuda itu Reno.

jembatan cinta


jembatan menuju pulau tidung kecil

pulau tidung



sepiring berdua

Rabu, 21 September 2011

Memoriam in Tidung Island.. part 2

Ada seorang bapak yang mendekat dan bertanya, “ Mau stay neng?”
            “Ah, enggak pak, kita mau pulang nanti sore. Ada kapal gak  pak jam setengah tigaan?”
            “Wah, gak ada neng, kapal jam segituan mah, paling lama ya jam 12 nanti. Mau snorkeling? Bapak bisa bantuin cari sewa sama guide nya sekalian”
            “Berapa pak?”
            “Satu setnya snorkeling 45 ribu, sama guidenya 50 ribu kalo pake kapal 400 ribuan..”
            Yessica beraksi..
            “Ah, masa sih pak, biasanya perlengkapan snorkeling itu 25-30 ribuan. Saya udah biasa nyelem pak, jadi kita gak butuh guide, saya bisa mandu temen2 saya. Ya udah pak, makasih ya!”
            Kitapun berjalan meninggalkan si Bapak.
            “Yes, emang lu udah biasa nyelem yes?” Tanya gue dengan polosnya.
            “hahaha”
            Yeye lalu cerita, dia belum pernah nyelam, cuma ikut pelatihannya aja sekali. Tapi snorkeling itu gampang, ga perlu pemandu juga gak papa.
            Jujur aja, pada saat itu gue gak ngerti snorkeling itu ngapain, kaya gimana, tapi yaa.. ikut – ikutan yang lain aja. Dan ternyata Snorkeling adalah mengamati keindahan bawah laut dari permukaan laut.
            Kita berjalan walau masih bingung mau kemana. Kemudian ada sekumpulan bapak – bapak yang tiba – tiba manggil kita dari pinggir pantai.(entah kenapa gue merasa di Pulau Tidung ini kita sering banget diipanggil sama bapak – bapak)
            “Mau kemana neng?”
            “Mau ke ujung Pulau pak”
            “eh, iya sekalian tanya kapal aja”
            Dari bapak – bapak yang sedang nongkrong itupun kita mendapat info bahwa ada kapal yang bernama kapal Kerapu, yang berangkat jam setengah tigaan. Kitapun kembali ke pelabuhan. Disana diberitahukan oleh petugas kalau loket baru dibuka pada jam satu siang.
            Karena loket belum dibuka, kita berjalan mencari tempat penyewaan alat snorkeling. Ada jalan setapak yang tampaknya menuju ujung pulau, kiri – kanannya dipenuhi pulau penduduk, home stay, dan tempat penyewaan alat. Sampailah kita di suatu tempat penyewaan alat. Tertulis satu set alat snorkeling dapat disewa dengan harga 35ribu rupiah.
            Satu set alat itu terdiri dari pelampung, kaki katak, dan kacamatanya. Uneasy to bring all of them. Hilda kemudian mengidekan supaya menyewa alat – alat itu di ujung pulau sana, biar bawanya ga repot.
            “Emang di sana ada tempat sewaan da?”
            “Ada paling, masa tempat snorkeling malah ga ada tempat sewaannya..” ujar Hilda sok tau.. hihihi
            Kitapun melanjutkan menapaki jalan tadi. Semakin lama rumah penduduk di kanan kiri jalan tergantikan oleh pepohonan. Sesekali kita dilewati oleh rombongan orang orang yang naik sepeda yang hendak mengelilingi pulau. Beberapa terlihat membawa perlengkapan snorkeling. Semakin jauh, semakin hanya ada pepohonan di kanan kiri jalan. Adakah tempat penyewaan di ujung pulau sana?
            Ada warung. Tanya.
            “ Misi bu, di ujung pulau sana ada tempat sewa alat snorkeling ga ya bu?”
            “Wah, ga ada neng, di rumah – rumah sana adanya” kata seorang ibu seraya menunjuk berlawanan arah dengan ujung pulau.
            Oke, setelah kita berjalan kurang lebih satu kilometer, kita balik ke tempat penyewaan awal dengan langkah mulai gontai dan terseok – seok (padahal petualangan belom dimulai, tapi udah pada capek duluan).
            “Makanya, kita tadi harusnya nyewanya di tempat tadi aja…” kata Hilda sambil ketawa – ketawa ga mau disalahkan. Hihi
            Tempat sewa itu sangat sederhana dengan lantai yang masih tanah. Sebuah papan putih yang menempel di depan tertulis harga – harga. Sewa satu set 35ribu. Oke. Kitapun memilih alat kita masing – masing. Abangnya memberi contoh penggunaan kacamatanya. Ada selang yang dapat digunakan untuk pernapasan, ujungnya diemut. Hiiii… jijik sebenernya.
            Bawaan yang begitu banyak mendorong kita untuk menyewa sepeda, tapi nyewa dua aja. Buat ngirit. Hihihi. Gue sama Rindy memilih dua sepeda terbaik yang masing – masingnya memiliki keranjang depan. Sepeda itu sudah tua, tapi terlihat masih cukup bagus. Akhirnya, gue memilih sepeda berwarna merah dan rindy warna biru dengan model yang sama.
            Gue dan Rindypun menaiki sepeda menuju Yeye dan Hilda. Gue sama Yeye bersiap menuju ujung pulau. Sepatu Katak diletakkan di keranjang sedangkan sisanya dibawa. Siap. Kaki kanan ada di pedal, pandangan lurus ke depan penuh percaya diri. Sepedapun mulai gue goes. Tapi baru beberapa ayunan, sepeda oleng ke kanan jalan. Okeh, mungkin masih butuh penyesuaian. Gue goes lagi, sepeda oleng ke kiri.
            “Bisa ga fer?”
            “Bisa.. tenang aja..”
            Sepeda kemudian dapat dikendalikan walaupun masih oleng kanan oleng kiri. Sementara Rindy dan Hida terlihat lancar di depan.
            Wizzzzz…. Motor dari depan lewat. Untung gue dengan jago ngeles. Pemandangan berikutnya adalah sepasang muda – mudi yang saling berangkulan di kanan jalan. Gue berusaha menghindar ke sisi kiri jalan. Namun entah mengapa, seperti ada yang menahan. Terjadilah. Gue telah menyadarkan kepada mereka bahwa di dunia ini mereka tidak cuma berdua dan yang lain tidak ngontrak.
            Yeye meminta supaya dia yang membonceng. Hasilnya ternyata 11:12, bahkan stang sepedanya ternyata bisa  dike bawahin atau di keatasin (ngerti ga? Hehe). Intinya stang sepeda adalah biang kerok semuanya. Akhirnya kitapun ganti – gentian naik sepedanya. Pada saat kita sedang gundah dengan sepedanya, sepasang muda – mudi tadi melewati kita dan menertawakan. !@#$%^&*.
            Beberapa lama kemudian terlihat sepeda biru di depan.
Dan kitapun foto – foto. Indahkan pulau Tidung.

 



jalan setapak




Fiuh. Finally, kita sampai di TKS (Tempat Kita Snorkeling) yang sangat strategis. Cuma ada kita. Siapa lagi orang yang punya ide snorkeling di tengah hari bolong kaya kita. Haha

Tak terasa waktu menunjukkan pukul satu siang. Tandanya apa? Tandanya loket udah dibuka. Keputusan yang diperoleh dari hompimpa alaium gambreng menunjukkan Rindy dan Yeye yang bergerak merapat ke pelabuhan. Sementara gue dan Hilda melanjutkan menikmati keindahan alam yang diciptakan oleh Allah Swt.

Perut yang mulai keroncongan menyadarkan kita tentang belum ada kabarnya dari kedua teman kita. Hilda memutuskan untuk menelepon Yeye.
“Da, loketnya bukanya jam dua. Di sini ada tulisan kalo perahunya udah penuh. Ada CPnya c..”
“…”
Apa itu artinya kita ga bisa pulang hari ini?Apa itu artinya kita harus stay semalam? Tapi dimana?
Rindy dan Yeye datang dengan muka cemas. Yeye menyerahkan nomor CP kapal Kerapu itu ke Hilda. Hilda menelepon sang CP dan mengeluarkan semua jurus rayuan dan gombalan agar kita dapat ikut kapal terebut. Hasilnya?
Nihil. Kapal itu telah dipesan oleh penduduk local setempat pagi tadi. Sebel banget, padahal info yang kami dapet dari petugas dekat situ loket baru dibuka jam satu siang. Dan ternyata, ga ada tiket!

jalur kapal

jadwal kapal
Selesai makan siang kita memutuskan untuk sholat dan berencana ke pelabuhan untuk mengetahui info kapal setelahnya. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan seorang bapak usia paruh baya. Dia menanyakan kenapa kami telah selesai snorkeling. Gue menceritakan peristiwa yang kami alami. Dimulai dari rencana kita yang hanya sehari dan tidak ingin stay sampai info loket yang sangat tidak jelas.
Terlihat sang bapak, kita sebut saja namanya Pak Jay, sibuk menelepon kapal untuk membantu kita. Kita bisa menyewa kapal untuk ke Jakarta. Namun biaya yang dibutuhkan sebesar 1,2 juta rupiah. Tidak bisa lagi, tidak ada jalan lain. Kita terperangkap. Kita harus menginap walau tak punya uang.

Kamis, 15 September 2011

Memoriam in Tidung Island.. part 1


                Perjalanan ini diawali dengan sedikit firasat gak enak. Dimulai dari keinginan kita untuk menginap namun budget kurang menyetujui, orang tua kita yang tumben sedikit lebih cemas saat kita izin, temen – temen kita yang pada gak bisa ikut, dan terakhir saat salah satu temen kita, Iwan, yang paling semangat bikin acara ini namun terpaksa ga jadi ikut karena mengalami kecelakaan saat berangkat.

          Terkumpulah kita. Gue (ferrina), Hilda, Yessica, dan Rindy. Walaupun sedih banget waktu tau Iwan terpaksa ga jadi ikut, kita tetap berangkat ke Pulau Tidung itu.

          Perjanjiannya adalah kita kumpul di Terminal Grogol pada pukul 05.30, namun hanya Yessica yang mematuhi peraturan tersebut. Gue, Hilda dan Rindy dateng jam 06.00. *maapin kite yes. Dengan ongkos empat ribu tiap orang, kita naik angkot merah menuju Muara Angke. Muara Angke itu becek dan bau sebagaimana mestinya pelabuhan. Sampai di pelabuhan kita naik kapal feri dengan tiket 33 ribu. Ini pertama kalinya gue naik kapal feri, agak kaget juga dengan kondisinya yang sangat rame dan terlihat tak teratur. Kita ditunjukkan kapal yang akan berangkat ke puau tidung, ga ada penjual tiketnya, langsung masuk ke dalam dan tempatin tempat yang kita sukai. Dalam kapal hanya beralas tikar, orang – orang ada yang tiduran. Bingung deh mau duduk dimana.

          Kapasitas kapal itu juga kayaknya ga ditentuin, yang mau naik ya naik aja. Sampe padet deh tu kapal. Kapal itu berangkat jam 08.00 pagi, sesuai dengan jadwal yang diliat di google.

          Kapal bergoyang – goyang pelan membuat kepala sedikit berputar. Perjalanan ini menempuh waktu 2-3 jam. Kita sampe jam 10.15 WIB. Sesampainya di sana, kita cari info tentang kapal pulang sore. Kapal feri yang tadi kita naikin mau balik ke Jakarta jam 12.00. Semua langsung menggeleng. Enak aja, masa Cuma dua jam kita di sini, mau ngapain coba.


Suasana Kapal
yessica bangun
yessica tidur, hilda tiduran
kita masih seger dong
ramee
bingung

         
Leelou Blogs
 

Template by BloggerCandy.com