Pages

Rabu, 12 Oktober 2011

Memoriam in Tidung Island.. part 3

Gue dan Hilda menuju kamar mandi sedangkan Rindy dan Yessica terlihat masih bercakap – cakap dengan si bapak. Selesai dari membersihkan diri Yessica menghampiri dan mengatakan bahwa Pak Jay sangat baik. Ia menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap tanpa dipungut biaya apapun. Ia juga mengatakan bahwa di rumahnya ada istri, anak, dan kedua orang tua istrinya (baca:mertuanya).
Kamipun mulai berdiskusi
 
“Bukannya mau su’udzon, tapi ada baiknya kita waspada sama orang yang baru kita kenal”
“Tapi kayaknya dia ga niat jahat deh. Diakan cukup dikenal sama warga sini. Kalo dia jahat, dia bisa mencoreng nama baik dia sendiri.” Pak Jay cukup dikenal oleh masyarakat terbukti dari banyaknya relasi yang dia telpon.
“Ya udah gini aja, kita ke rumah bapak itu sekitar jam Sembilan nanti, jadi di sana kita bener – bener gunain hanya untuk berteduh malam. Nanti pas tidur tasnya kita peluk aja supaya aman.”
“Jadiiii…. Kita bener – bener harus menginap semalam di sini?”
“Sayangnya iya…”
Kita bener – bener ga nyangka, kita berempat terjebak gak bisa keluar dari pulau itu. Gak ada siapa – siapa yang kita kenal. Dan kami, hanyalah empat orang gadis yang masih kecil dan lugu *oke, yang ini berlebihan.
 
Kami menyambut hal ini dengan tertawa tanpa rasa takut. Masing – masing berpikir setidaknya ‘gue’ gak sendiri. Setidaknya Ferina udah sabuk ijo di karatenya*oke, yang ini agak enggak nyambung.
Hal yang bikin kita takut adalah izin dari orang tua. Apa yang harus kita bilang? Sepakat. Kita mengungkapkan bahwa Rindy secara mendadak memberi kejutan paket stay sebagai perayaan Rindy yang dapat beasiswa di Rusia. At least, dia benar – benar berhasil *Congratz buat Rindy  . Gue udah bohong soal ayah dan ibu Rindy ada di sana juga, tapi semoga white lie ini dimaafkan. Kebayang gak sih kalo orang tua kita tau bahwa kita terjebak di suatu pulau gak bisa pulang? Apa reaksinya?
Kalo bapak gue mungkin udah naik Jet ski dari muara angke ke Pulau Tidung buat jemput sambil teriak nama gue. hihii.. *backsound Pink Panther Them.
 Setelah sholat ashar dan menelepon orang tua, mengabarkan bahwa anaknya baik – baik saja, kitapun melanjutkan sesi foto – foto dan berpencar lagi. Rindy dan Yessica melanjutkan snorkeling *karena mereka belum mandi, gue dan Hilda menuju Pulau Tidung kecil melewati Jembatan Cinta.
 
Jembatan ini tidak memiliki mitos apapun, diberi nama jembatan cinta hanya untuk menarik perhatian pengunjung. Dari atas jembatan banyak yang melompat dengan tujuan hanya untuk bersenang – senang.
Matahari mengakhiri penyinarannya untuk hari ini. Suasana pantai mulai sepi oleh pengunjung. Kamipun mengakhiri rekreasi kami. Mushola adalah tempat peristirahatan yang paling nyaman saat itu. Setelah sholat Maghrib, kami mengobrol di depan Mushola. Tak lama abang – abang penyewa snorkeling datang untuk menjemput peralatannya. Alhamdulillah, mengurangi bawaan..haha . Si abang tau aja kita dimana :P
Setelah sholat Isya, kita makan. Cukup dua piring nasi goreng (baca:sepiring berdua).
Waktu baru menunjukkan jam delapan malam namun suasana sudah benar – benar sepi. Di parkiran sepeda hanya tertinggal dua sepeda kita. Karena abang sepedanya udah gak ada, kitapun gak bayar uang parkir.
Sudah pernah diceritakan sebelumnya bahwa jalan setapak dari ujung pulau ke pelabuhan yang banyak rumah penduduknya itu sangatlah sepi. Sebelah kiri langsung pantai dan sebelah kanan jalan adalah pepohonan. Di sinilah sensasi petualangan yang gak akan bisa gue lupakan. Dengan jalanan gelap yang hanya bercahayakan sinar rembulan dan langit penuh bintang, dengan pepohononan yang ramai dengan sekelebat putih yang lewat, dengan sepeda dengan stang yang sesekali oleng kanan dan oleng kiri, gue mengayuh sepeda penuh dengan konsentrasi. Sambil membaca istighfar dalam hati, sesekali gue mengajak Hilda berbincang, memastikan bahwa gue masih memboncengnya. Saat itu gue membayangkan berada disebuah adegan film Petualangan Sherina *yang mananya juga gue ga tau.haha
Gue tiba lebih dulu di tempat penyewaan sepeda. Setelah Rindy dan Yeye sampai, kami pun berjalan kaki menuju rumah Pak Jay. Sebelumnya Pak Jay menerangkan bahwa rumahnya masih berada di satu jalan dengan jalan setapak tadi. Oleh karena itu, tidak sulit untuk menemukan rumahnya. Rumah itu memiliki balkon yang luas dengan bagian depan terdapat sebuah etalase. Rupanya keluarga Pak Jay tiap harinya menjual gado – gado, karedok, dan pecel. 
Kami dipersilahkan masuk.
Di sana kami bertemu dengan istri, kedua orang tua istri serta anak Pak Jay. Sepertinya Pak Jay telah member kabar tentang kami kepada keluarganya. Semuanya dengan ramah menyalami kami. Kami kemudian dibawa ke sebuah ruangan keluarga. Ruangan itu cukup luas. Ada sebuah televisi dan digelar tikar sebagai alas lantainya. Kami dipersilahkan menempati tempat itu.
Walaupun sederhana, kami semua sepakat untuk mensyukuri kebaikan Pak Jay yang bersedia menyediakan tempat untuk kami. Kamipun berbincang – bincang dengan ibu dari istri Pak Jay.
Ibu itu orang asli pulau. Lahir dan besar di pulau itu. Hanya beberapa kali ia keluar pulau. Ia pun menikah dengan orang asli pulau itu. Gue berpikir, ruang gaulnya sempit banget yah, Cuma di sekitar pulau – pulau itu.
Tidak lama Pak Jay datang beserta istri dan seorang pemuda. Pemuda itu tinggi, masih muda, badannya proporsional, dan terakhir,, ehm… ganteng. Sebut saja nama pemuda itu Reno.

jembatan cinta


jembatan menuju pulau tidung kecil

pulau tidung



sepiring berdua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks for reading.. Any comments?
Write down!

Leelou Blogs
 

Template by BloggerCandy.com